MEMBUMIKAN KARTINIISME: SEBUAH
GERAKAN BAGI MEDIA MASSA BERVISI GENDER
Inilah Indonesia……………..!!!!!!!!!!!!!, sebuah negara yang hanya mampu menghargai karya besar para pencetus isme-isme produksi pemikiran anak bangsa dengan sebuah ritual kebangsaan, tanpa memperdulikan sampai kapan isme-isme tersebut tetap hidup dan menyatu dalam tubuh sosial anak bangsa. Hingga sepanjang tahun, bangsa kita disibukan dengan peringatan hari-hari besar untuk menghargai karya anak bangsa, termasuk hari Kartini pada tanggal 21 April. Hari Kartini merupakan simbolisasi nyata perjuangan seorang Raden Adjeng Kartini (Raden Ayu Kartini) seorang tokoh perempuan Jawa dan pahlawan nasional yang penuh kelembutan, kecerdasan, tekad bulat dan keras demi perjuangan masa depan anak bangsa yang saat itu tertindas oleh sistem sosial masyarakat Jawa yang menempatkan perempuan pada kelas dua dengan wilayah dometik sosial “sumur, dapur, dan kasur”.
Kartini, Kartini adalah ruh bangsa Indonesia, Kartini adalah gagasan besar bangsa, Kartini adalah inspirasi bangsa, maka bangsa ini harus mampu memproduksi Kartini-kartini muda yang mampu membawa Indonesia keranah yang lebih berkeadilan. Kartini bukan hanya perempuan dalam bentuk nyata “sosok tubuh wanita Jawa dan pahlawan perempuan”, namun Kartini sudah menjadi isme (paham) bangsa yang seharusnya menyatu dalam relung hati anak bangsa. Sehingga, hematnya sebuah rutinitas ritual penghargaan bagi anak bangsa sekelas Kartini tentunya Akan tetapi, bangsa ini selalu terseok dalam suatu kegagalan demi suatu pencapain yang tertinggi, kejadian demi kejadian pun terlewati, waktu terbuang percuma dan tak berharga. Untuk membangun dan menghubungkan satu peristiwa simbolik dengan isme-nya telah hilang ditelan pengkotak-kotakkan anakronistik. Padahal dari perjalanan gerak figur-figur pembawa perubahan dalam melahirkan suatu paradigma besar bangsa yang mampu melintasi zaman, kita dapat merasakan gagasan-gagasan besar dan abstrak menjadi bernyawa, sebab bangsa ini tersusun dari kepingan-kepingan ruh para anak bangsa yang mencintai bangsa ini dengan malahirkan gagasan besar.
Kartini bukan hanya manusia tidak cukup, apalagi jika bangsa ini kemudian menjadikan Kartini sebagai simbolisasi rutinitas ritual penghormatan dengan hanya upacara, pake kebaya, perlombaan, dan kegiatan yang bernuansakan perempuan lemah, apalagi jika degresifisme paradigma yang memaksa kembali dalam wujud filsafat “sumur, dapur, dan kasur”. Ritual penghormatan boleh saja, tapi kemudian esensi penghormatan bangsa jangan dikaburkan dengan realitas nyata. Harus adanya pelembagaan kartiniisme sebagai pemikiran original anak bangsa yang mampu mendobrak struktur sosial masyarakat patriarki.
Untuk itu, harus ada upaya bangsa dalam menghargai sosok Kartini, bukan hanya mengenal manusianya, mengenal perjuangannya, tetapi juga mengenal isme-nya yang saat ini hampir pudar ditelan masa kapitalisme. Pandangan-pandangan original gerakan sosial perempuan oleh Kartini dalam mendobrak sistem sosial yang merugikan kaum perempuan harus tetap dilestarikan sebagai ideologi kaum perempuan bangsa Indonesia. Sehingga membumikan “Kartiniisme” dalam paradigma besar gerakan kaum perempuan mencapai kesetaraan dalam berbagai bidang, hal ini sangat wajar sebab Kartiniisme merupakan wujud pemikiran anak bangsa Indonesia yang benar-benar dapat dijadikan sebagai pedoman dalam mewujudkan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang berkeadilan gender, apalagi mewujudkan tatanan media yang memiliki visi gender.
Membumikan Kartiniisme: Konstruksi Media Massa Bervisi Gender
Ketimpangan konstruksi gender dalam sebuah masyarakat patriarki, seperti Jawa (khususnya) dan Indonesia (umumnya) diterima secara serta merta dan dianggap sesuatu yang wajar oleh masyarakat, namun sayangnya media massa justru tidak kritis dalam melihat ketimpangan ini, banyak media massa di Indonesia yang cenderung membeo dengan realitas patrarki dan mengabadikan representasi ketidakadilan gender melalui pelbagai produk informasi.
Ketimpangan konstruksi gender dalam sebuah masyarakat patriarki, seperti Jawa (khususnya) dan Indonesia (umumnya) diterima secara serta merta dan dianggap sesuatu yang wajar oleh masyarakat, namun sayangnya media massa justru tidak kritis dalam melihat ketimpangan ini, banyak media massa di Indonesia yang cenderung membeo dengan realitas patrarki dan mengabadikan representasi ketidakadilan gender melalui pelbagai produk informasi.
Lagipula, persoalan gender
sebenarnya tersimpan dalam tubuh organisasi media itu sendiri. Untuk menjalani
profesi yang berada di male dominated route ini, umpamanya perempuan jurnalis
harus dapat membuktikan kemampuan mereka tiga kali lipat ketimbang jurnalis
laki-laki dan memiliki tanggungjawab pribadi, sosial, dan profesionalisme.
Tanggungjawab pribadi berkenaan dengan produksi tubuh yang bersifat kodrati,
misalnya haid, hamil, dan lainnya yang merupakan salah satu bentuk
tanggungjawab terhadap Tuhan. Tanggungjawab sosial merupakan tanggungjawab yang
sangat berat, sebab harus menembus dimensi-dimensi kelas, dimensi pradigma yang
membeku dalam tradisi patriarki, sehingga keinginan menjadi jurnalis perempuan
masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat dan bahkan media massa itu
sendiri. Tangggungjawab profesionalisme dalam bekerja, tantangan
profesionalisme seorang jurnalis perempuan lebih berat dari pada seorang
laki-laki, jurnalisme perempuan harus menghadapi kendala kodtrati dalam bekerja
(haid, hamid) dan terkadang industri media massa terkadang memperlakukan
perempuan yang melewati batas-batas hak kodrati, dan terkadang perempuan
dianggap mahluk lemah, misalnya tidak adanya cuti haid, sebab haid akan menunda
pekerjaan dan mengurangi rasa profesionalisme.
Seharusnya paradigma media massa dalam hal ini mulai dikurangi, dengan mulai membumikan kartiniisme, dengan menjadikan sosok Kartini sebagai ideologi inspirastor bagi langkah gerak jurnalisme perempuan yang tahan banting terhadap realitas. Sebab Kartiniisme merupakan wajah perempuan yang mampu merubah paradigma kaum perempuan dengan mencoba mengajarkan kepada perempuan-perempuan Jawa untuk mengenal dunia, dan mencoba memaknai sebuah perwujudan kesadaran perempuan dengan mengambil bentuk-bentuk yang pada zamannya tidak lazim dikaitkan dengan pendeskreditan kaum perempuan.
Seharusnya paradigma media massa dalam hal ini mulai dikurangi, dengan mulai membumikan kartiniisme, dengan menjadikan sosok Kartini sebagai ideologi inspirastor bagi langkah gerak jurnalisme perempuan yang tahan banting terhadap realitas. Sebab Kartiniisme merupakan wajah perempuan yang mampu merubah paradigma kaum perempuan dengan mencoba mengajarkan kepada perempuan-perempuan Jawa untuk mengenal dunia, dan mencoba memaknai sebuah perwujudan kesadaran perempuan dengan mengambil bentuk-bentuk yang pada zamannya tidak lazim dikaitkan dengan pendeskreditan kaum perempuan.
Ada beberapa tolok ukur sebuah media massa yang membumikan Kartiniisme, yaitu: Pertama, secara internal media massa memberikan peluang yang sama dalam perekrutan pekerja media (wartawan, dan lainnya), tanpa adanya diskriminasi gender, dan memberikan kesempatan yang sama untuk meraih kesuksesan dalam industri media. Namun sampai saat ini, menurut penulis bahwa membumikan Kartiniisme dengan tolok ukur pertama ini sudah mulai dilakukan oleh industri media, namun dalam prosesnya masih banyak diskriminasi gender, misalnya: seorang kameramen harus laki-laki, karena perempuan orang yang lemah sehingga tidak mampu menjadi cameramen, dan lainnya.
Kedua, tolok ukur membumikan Kartiniisme dengan merepresentasikan perempuan dalam wajah media, media mulai berubah diri dalam hal merubah paradigma media yang dulunya patriarki kearah keadilan gender, sehingga tidak lagi mereperesentasikan perempuan sebagai objek lemah dan ladang bisnis yang harus dijual untuk mendapatkan keuntungan. Perempuan harus dikembalikan kepada kodratnya sebagai mahluk yang tidak berbeda dengan sosok laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama untuk berkembang, dan meniti karir layaknya seorang laki-laki. Untuk itu gerakan membumisasikan Kartiniisme melalui media massa dalam hal program-program yang ditawarkan tidak merugikan keberadaan perempuan, apalagi memperkuat budaya patriarki. Harus adanya paradigma media massa yang bervisi Kartiniisme, ketika media massa tidak memiliki semangat perwujudan isme dari sosok Kartini, maka media dapat semaunya “menjual tubuh” perempuan ke publik. Tolok ukur tersebut merupakan tolok ukur media massa dalam membumikan Kartiniisme.
Membumikan kartiniisme sebagai
ideologi gerakan media massa bervisi gender harus dilihami dari misi filosofis
Kartiniisme sebagai paham yang membebaskan kaum perempuan dari cengkeraman
patriarki dan kartiniisme menjadikan perempuan Indonesia yang produktif dan
progresif, bukan perempuan dalam dunia media massa yang dijadikan tempat
domestik pelengkap saja, teta
pi ikut berperan aktif dalam membongkar dunia, melalui teamwork dalam suatu media massa. “Mari berfikir untuk semua”.
“21 April 2018”, Selamat Hari Kartini Anak Bangsa, Jadilah Kartini-Kartini Muda dan Generasi Penerus Kartiniisme.
pi ikut berperan aktif dalam membongkar dunia, melalui teamwork dalam suatu media massa. “Mari berfikir untuk semua”.
“21 April 2018”, Selamat Hari Kartini Anak Bangsa, Jadilah Kartini-Kartini Muda dan Generasi Penerus Kartiniisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar