Selasa, 20 Maret 2018

Kajian Malam Sabtu (Kamastu) " Konsep Negara dalam Islam" Kajian Malam Sabtu (Kamastu) Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY Jum’at, 10 November 2017 20.00-22.15 WIB “Konsep Negara dalam Islam” Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc.(Guru Besar Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY), Abdul Gaffar Karim, M.A.(Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM) Dalam kajian malam sabtu kali ini hadir bersama kita bapak Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc, yang dalam hal ini memberikan ilmu mengenai konsep negara dalam islam. Sejatinya islam melalui Al-Qur’an lebih banyak memberikan petunjuk detail dalam hal hukum dan politik yang berkaitan dengan syariat dan kriminalitas (jinayat dan hudud) sedangkan untuk detail bentuk tata negara serta tata kelola pemerintahan tidak diterangkan secara rinci. Lebih dalam lagi ketika memahami prinsip bernegara dalam islam, yakni: a. Kesamaan b. Keadilan c. Kesederhanaan d. Kebenaran dan ketepatan (bener tur pener) e. Kontrol diri f. Menghormati hak-hak individu g. Memberikan ruang pengembangan pribadi serta lembaga yang terus belajar dan berevaluasi selain itu manajemen Manajemen Teknis yang dimiliki oleh Pemerintahan bernegara dalam Islam adalah a. Adanya hirarki (struktur), minimal adanya pemimpin dan jamaah b. Adanya pembagian fungsi. Misalnya dalam lingkup kesukuan Toraja, pemimpin diangkat dari kalangan bangsawan sekaligus menjabat Bupati. Atau di Jogjakarta, pemimpin tertingginya adalah sultan yang atas keistimewaan DIY otomatis menjadi Gubernur. c. Adanya sistem pengambilan keputusan d. Menjunjung profesionalitas/keahlian (merit selection) dalam menentukan pemimpin. Selama ini penentuan keahlian bersifat elected (seleksi) dan appointed (penetapan). Kasus: Konflik Filipina Selatan (Islamic City of Marawi) salah satu pemicunya adalah perebutan kekuasaan karena terdapat 251 sultan. e. Adanya komunikasi yang memberikan timbal balik, simpel dan mudah diakses. f. Remunerasi/apresiasi tambahan terhadap keahlian tertentu. g. Kontrol administrasi untuk mencapai ketuntasan setiap program. Adapun ayat alquran yang berbunyi bahwa,; “..Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. . dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap. Dalam teori Dresler, W (2004) mengemukakan bahwa sebenarnya dunia mengharap turut berkontribusinya tiga peradaban besar dunia dalam public of administration yaitu Barat, Islam, dan Cina. Pada hakekatnya apakah dalam Islam ada konsep pemerintahan/negara?  YA ADA, tapi tidak ditemukan prosedur/sistem yang utuh tentang itu. Untuk mengimplementasikan dan mencitrakan Pemerintahan Islam seharusnya 1. Mendasarkan pada nilai-nilai agama Islam dan filosofi ajarannya. 2. Teruji secara empiris, terbukti penerapannya oleh pemimpin muslim. 3. Bisa relevan dan diduplikasi oleh negara Islam yang lain. Selanjutnya dalam KAMASTU hadir juga narasumber Abdul Gaffar Karim, M.A. dalam penyampaiannya berbicara mengenai pemimpin maka bicara otiritas, semua hal yang berkaitan dengan pemimpin adalah otiritas penuh yang dipegang olehs eorang pimpinan lebih dalam lagi ketika memahami rakyat, dalam konteks ini ketika seorang bicara rakyat maka bicara mengenai kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan beraspirasi dsb, lain halnya ketika bicara pemerintahan, maka dalam penyatuan/penyerahan kebebasan oleh rakyat kepada pemimpin harus dijamin keamanannya oleh otoritas yang disepakati. Sehingga ada fungsi dasar otoritas yang harus dipahami secara bersama sama yakni Menjamin keamanan baik dari segi politik hukum dan masih banyak lagi sedangkan mengenai pendidikan yakni mampu memberikan layanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dsb) Dalam konteks negara islam ada bermunculan pertanyaan yang salah satu di anataranya adalah “Adakah konsep negara dalam Islam?”  ADA, tapi bahkan di agama manapun tidak ditemukan gagasan yang detail, utuh, dan final tentang negara. Terdapat keunikan konsep bernegara dalam Islam dibandingkan negara agam lain. Contoh dalam Kristen ada konsep native secularism (pemisahan) dengan ajaran serahkan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan. Tapi dalam Islam tidak ada pemisahan semacam itu karena adanya keterlekatan ajaran agama dengan praktik sosial termasuk dalam bernegara dan berkuasa. Meskipun sempat menjadi perdebatan antara pajak dan zakat. Jika merujuk pada nonsecularism dalam Islam, maka seharusnya jika warga negara muslim sudah melaksanakan zakat, pembayaran pajak dapat diklaim kembali. Bicara pemilihan pemimpin, tidak ada patokan kaku. Bahkan pemilihan khulafaur rasyidin hingga daulah umayah-abbasiyah-otoman pun berbeda-beda (Baiat Abu Bakar, Formatur Umar bin Khattab, sistem keturunan mulai jaman Muawiyah). Sumber rujukan bernegara dalam Islam ada tiga 1. Dalil Al-Qur’an dan Hadits baik yang bersifat hukum yang sudah jelas, maupun bersifat etik. Contoh dalil yang bersifat etik adalah ayat athi’ullaah, wa athii’urrasul, wa ulil amri minkum. Ulil amri didefinisikan sebagai orang yang ahli baik secara penetapan sah secara hukum maupun terkait keahlian. Contoh jika berada di lahan parkir, maka tukang parkir adalah ulil amri dalam situasi tersebut karena ia yang dianggap ahli untuk mengatur parkir. Jadi yang dalil tersebut dijadikan landasan etik dalam berbagai kondisi, bukan kaku bahwa ulil amri adalah yang semata dipilih secara hukum saja. 2. Tradisi/sejarah. Konsep dan penerapan negara Islam atau politik Islam tidak terlepas dari duplikasi sejarah pemerintahan Islam yang pernah berjalan dan berjaya. 3. Pemikiran mengenai konsep negara Islam baik pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan sebagainya dan antara tokohpun memiliki argumen berbeda mengenai konsep negara Islam itu. Secara prinsip etik, Islam mengatur tentang 1. Adanya tatanan. Tatanan bernegara dalam Islam harus mengutamakan Allah, ittiba’ pada Rasulullah, serta belajar pada ulil amri yang pernah ada dalam sejarah. 2. Kekuasaan seperti konsep bermusyawarah, prosedur memilih pemimpin. Tradisi memilih pemimpin sejak Rasulullah hingga Ali bin Abi Thalib adalah tradisi demokratis yang kemudian dirusak oleh Muawiyah yang membuat penetapan pemimpin dari segi keturunan hingga sekarang, lihatlah Saudi Arabia misalnya. 3. Menjunjung kesejahteraan. Islam dalam bernegara mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai mempertahankan wilayah sedangkan kesejahteraan tidak mampu dipenuhi. Misalnya kasus Timor Leste. Menjadi keputusan yang bijak untuk melepas namun penduduknya bisa memperoleh kesejahteraan daripada tetap bergabung namun tidak terjamin kesejahteraannya. Mengenai gagasan tentang negara, diutarakan oleh beberapa tokoh sepeti semua negara di bawah satu kekuasaan (Hitler), tentang sistem Khilafah dan sebagainya. Mengenai bentuk negara, Soekarno pernah berkata, “tidak ada negara yang sama (tidak berubah tatanannya) dalam 1000 windu”. Bahkan yang diyaini jaman khilafah Islamiyah (Umayah-Otoman) tidak mencapai seribu windu itu. Carlos Deutch menguatkan,”Sejarah manusia bernegara itu menyatu, berpencar, menyatu, berpencar dan akan terus seperti itu”. Maka tidak ada bentuk negara yang absolut. Tiga bentuk negara yang pernah ada adalah etno, nation, dan kosmopolis. Sistem kesukuan yang diakui sebagai sebuah tatanan yang mengikat seperti suku dayak yang beragama Kristen, jika pindah agama menjadi muslim maka statusnya menjadi suku Melayu. Sistem nation seperti negara-negara yang ada di dunia yang memiliki hukum dan batas negara masing-masing. Atau kosmopolis yang mengambil konsep menggabungkan kekuasaan negara seperti perhimpunan ASEAN, UNI EROPA, dsb.



Kajian Malam Sabtu (Kamastu) " Konsep Negara dalam Islam"


Kajian Malam Sabtu (Kamastu)
Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) DIY
Jum’at, 10 November 2017
20.00-22.15 WIB

“Konsep Negara dalam Islam”
Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc.(Guru Besar Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY), Abdul Gaffar Karim, M.A.(Staf Pengajar Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM)
Dalam kajian malam sabtu kali ini hadir bersama kita bapak Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc,  yang dalam hal ini memberikan ilmu mengenai konsep negara dalam islam. Sejatinya islam melalui Al-Qur’an lebih banyak memberikan petunjuk detail dalam hal hukum dan politik yang berkaitan dengan syariat dan kriminalitas (jinayat dan hudud) sedangkan untuk detail bentuk tata negara serta tata kelola pemerintahan tidak diterangkan secara rinci. Lebih dalam lagi ketika memahami prinsip bernegara dalam islam, yakni:
a.    Kesamaan
b.   Keadilan
c.    Kesederhanaan
d.   Kebenaran dan ketepatan (bener tur pener)
e.    Kontrol diri
f.     Menghormati hak-hak individu
g.    Memberikan ruang pengembangan pribadi serta lembaga yang terus belajar dan berevaluasi
selain itu manajemen Manajemen Teknis yang dimiliki oleh Pemerintahan bernegara dalam Islam adalah
a.      Adanya hirarki (struktur), minimal adanya pemimpin dan jamaah
b.      Adanya pembagian fungsi. Misalnya dalam lingkup kesukuan Toraja, pemimpin diangkat dari kalangan bangsawan sekaligus menjabat Bupati. Atau di Jogjakarta, pemimpin tertingginya adalah sultan yang atas keistimewaan DIY otomatis menjadi Gubernur.
c.       Adanya sistem pengambilan keputusan
d.      Menjunjung profesionalitas/keahlian (merit selection) dalam menentukan pemimpin. Selama ini penentuan keahlian bersifat elected (seleksi) dan appointed (penetapan).
Kasus: Konflik Filipina Selatan (Islamic City of Marawi) salah satu pemicunya adalah perebutan kekuasaan karena terdapat 251 sultan.
e.       Adanya komunikasi yang memberikan timbal balik, simpel dan mudah diakses.
f.        Remunerasi/apresiasi tambahan terhadap keahlian tertentu.
g.      Kontrol administrasi untuk mencapai ketuntasan setiap program.

Adapun ayat alquran yang berbunyi bahwa,; “..Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. . dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Dalam teori Dresler, W (2004) mengemukakan bahwa sebenarnya dunia mengharap turut berkontribusinya tiga peradaban besar dunia dalam public of administration yaitu Barat, Islam, dan Cina.
Pada hakekatnya apakah dalam Islam ada konsep pemerintahan/negara? à YA ADA, tapi tidak ditemukan prosedur/sistem yang utuh tentang itu. Untuk mengimplementasikan dan mencitrakan Pemerintahan Islam seharusnya
1.      Mendasarkan pada nilai-nilai agama Islam dan filosofi ajarannya.
2.      Teruji secara empiris, terbukti penerapannya oleh pemimpin muslim.
3.      Bisa relevan dan diduplikasi oleh negara Islam yang lain.

Selanjutnya dalam KAMASTU hadir juga narasumber Abdul Gaffar Karim, M.A.  dalam penyampaiannya berbicara mengenai pemimpin maka bicara otiritas, semua hal yang berkaitan dengan pemimpin adalah otiritas penuh yang dipegang olehs eorang pimpinan lebih dalam lagi ketika memahami rakyat, dalam konteks ini ketika seorang bicara rakyat maka bicara mengenai kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan beraspirasi dsb, lain halnya ketika bicara pemerintahan, maka dalam penyatuan/penyerahan kebebasan oleh rakyat kepada pemimpin harus dijamin keamanannya oleh otoritas yang disepakati.
Sehingga ada fungsi dasar otoritas yang harus dipahami secara bersama sama yakni Menjamin keamanan baik dari segi politik hukum dan masih banyak lagi sedangkan mengenai pendidikan yakni mampu memberikan layanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dsb)

Dalam konteks negara islam ada bermunculan pertanyaan yang salah satu di anataranya adalah “Adakah konsep negara dalam Islam?” à ADA, tapi  bahkan di agama manapun tidak ditemukan gagasan yang detail, utuh, dan final tentang negara.
Terdapat keunikan konsep bernegara dalam Islam dibandingkan negara agam lain. Contoh dalam Kristen ada konsep native secularism (pemisahan) dengan ajaran serahkan kepada kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.  Tapi dalam Islam tidak ada pemisahan semacam itu karena adanya keterlekatan ajaran agama dengan praktik sosial termasuk dalam bernegara dan berkuasa. Meskipun sempat menjadi perdebatan antara pajak dan zakat. Jika merujuk pada nonsecularism dalam Islam, maka seharusnya jika warga negara muslim sudah melaksanakan zakat, pembayaran pajak dapat diklaim kembali.
Bicara pemilihan pemimpin, tidak ada patokan kaku. Bahkan pemilihan khulafaur rasyidin hingga daulah umayah-abbasiyah-otoman pun berbeda-beda (Baiat Abu Bakar, Formatur Umar bin Khattab, sistem keturunan mulai jaman Muawiyah).
Sumber rujukan bernegara dalam Islam ada tiga
1.      Dalil Al-Qur’an dan Hadits baik yang bersifat hukum yang sudah jelas, maupun bersifat etik. Contoh dalil yang bersifat etik adalah ayat athi’ullaah, wa athii’urrasul, wa ulil amri minkum. Ulil amri didefinisikan sebagai orang yang ahli baik secara penetapan sah secara hukum maupun terkait keahlian. Contoh jika berada di lahan parkir, maka tukang parkir adalah ulil amri dalam situasi tersebut karena ia yang dianggap ahli untuk mengatur parkir. Jadi yang dalil tersebut dijadikan landasan etik dalam berbagai kondisi, bukan kaku bahwa ulil amri adalah yang semata dipilih secara hukum saja.
2.      Tradisi/sejarah. Konsep dan penerapan negara Islam atau politik Islam tidak terlepas dari duplikasi sejarah pemerintahan Islam yang pernah berjalan dan berjaya.
3.      Pemikiran mengenai konsep negara Islam baik pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan sebagainya dan antara tokohpun memiliki argumen berbeda mengenai konsep negara Islam itu.
Secara prinsip etik, Islam mengatur tentang
1.      Adanya tatanan. Tatanan bernegara dalam Islam harus mengutamakan Allah, ittiba’ pada Rasulullah, serta belajar pada ulil amri yang pernah ada dalam sejarah.
2.      Kekuasaan seperti konsep bermusyawarah, prosedur memilih pemimpin. Tradisi memilih pemimpin sejak Rasulullah hingga Ali bin Abi Thalib adalah tradisi demokratis yang kemudian dirusak oleh Muawiyah yang membuat penetapan pemimpin dari segi keturunan hingga sekarang, lihatlah Saudi Arabia misalnya.
3.      Menjunjung kesejahteraan. Islam dalam bernegara mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai mempertahankan wilayah sedangkan kesejahteraan tidak mampu dipenuhi. Misalnya kasus Timor Leste. Menjadi keputusan yang bijak untuk melepas namun penduduknya bisa memperoleh kesejahteraan daripada tetap bergabung namun tidak terjamin kesejahteraannya.
Mengenai gagasan tentang negara, diutarakan oleh beberapa tokoh sepeti semua negara di bawah satu kekuasaan (Hitler), tentang sistem Khilafah dan sebagainya.
Mengenai bentuk negara, Soekarno pernah berkata, “tidak ada negara yang sama (tidak berubah tatanannya) dalam 1000 windu”. Bahkan yang diyaini jaman khilafah Islamiyah (Umayah-Otoman) tidak mencapai seribu windu itu. Carlos Deutch menguatkan,”Sejarah manusia bernegara itu menyatu, berpencar, menyatu, berpencar dan akan terus seperti itu”. Maka tidak ada bentuk negara yang absolut.
Tiga bentuk negara yang pernah ada adalah etno, nation, dan kosmopolis. Sistem kesukuan yang diakui sebagai sebuah tatanan yang mengikat seperti suku dayak yang beragama Kristen, jika pindah agama menjadi muslim maka statusnya menjadi suku Melayu. Sistem nation seperti negara-negara yang ada di dunia yang memiliki hukum dan batas negara masing-masing. Atau kosmopolis yang mengambil konsep menggabungkan kekuasaan negara seperti perhimpunan ASEAN, UNI EROPA, dsb.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MILAD KE-107 MUHAMMADIYAH

Milad ke 107 Muhammadiyah yang diadakan di Sportorium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tepatnya Senin 18 November 2019 dan di...