Kajian Malam Sabtu (Kamastu) " Konsep Negara dalam Islam"
Kajian Malam Sabtu (Kamastu)
Angkatan
Muda Muhammadiyah (AMM) DIY
Jum’at,
10 November 2017
20.00-22.15
WIB
“Konsep Negara dalam Islam”
Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc.(Guru
Besar Ilmu Pemerintahan Fisipol UMY), Abdul Gaffar Karim, M.A.(Staf Pengajar
Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM)
Dalam
kajian malam sabtu kali ini hadir bersama kita bapak Prof. Dr. Achmad
Nurmandi, M.Sc, yang dalam hal ini
memberikan ilmu mengenai konsep negara dalam islam. Sejatinya islam melalui Al-Qur’an lebih banyak memberikan
petunjuk detail dalam hal hukum dan politik yang berkaitan dengan syariat dan
kriminalitas (jinayat dan hudud) sedangkan untuk detail bentuk tata negara
serta tata kelola pemerintahan tidak diterangkan secara rinci. Lebih dalam lagi
ketika memahami prinsip bernegara dalam islam, yakni:
a. Kesamaan
b. Keadilan
c. Kesederhanaan
d. Kebenaran dan ketepatan (bener tur pener)
e. Kontrol diri
f.
Menghormati hak-hak individu
g. Memberikan ruang pengembangan pribadi
serta lembaga yang terus belajar dan berevaluasi
selain itu manajemen Manajemen Teknis
yang dimiliki oleh Pemerintahan bernegara dalam Islam adalah
a.
Adanya hirarki (struktur),
minimal adanya pemimpin dan jamaah
b.
Adanya pembagian fungsi.
Misalnya dalam lingkup kesukuan Toraja, pemimpin diangkat dari kalangan
bangsawan sekaligus menjabat Bupati. Atau di Jogjakarta, pemimpin tertingginya
adalah sultan yang atas keistimewaan DIY otomatis menjadi Gubernur.
c.
Adanya sistem pengambilan
keputusan
d.
Menjunjung
profesionalitas/keahlian (merit selection) dalam menentukan pemimpin.
Selama ini penentuan keahlian bersifat elected (seleksi) dan appointed
(penetapan).
Kasus: Konflik Filipina Selatan (Islamic
City of Marawi) salah satu pemicunya adalah perebutan kekuasaan karena terdapat
251 sultan.
e.
Adanya komunikasi yang
memberikan timbal balik, simpel dan mudah diakses.
f.
Remunerasi/apresiasi
tambahan terhadap keahlian tertentu.
g.
Kontrol administrasi untuk
mencapai ketuntasan setiap program.
Adapun
ayat alquran yang berbunyi bahwa,; “..Maka apabila kamu telah selesai (dari
sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”. . dan
hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
Dalam teori
Dresler, W (2004) mengemukakan bahwa sebenarnya dunia mengharap turut
berkontribusinya tiga peradaban besar dunia dalam public of administration
yaitu Barat, Islam, dan Cina.
Pada hakekatnya
apakah dalam Islam ada konsep pemerintahan/negara? à YA ADA, tapi tidak ditemukan prosedur/sistem yang
utuh tentang itu. Untuk mengimplementasikan dan mencitrakan Pemerintahan Islam
seharusnya
1.
Mendasarkan pada nilai-nilai
agama Islam dan filosofi ajarannya.
2.
Teruji secara empiris,
terbukti penerapannya oleh pemimpin muslim.
3.
Bisa relevan dan diduplikasi
oleh negara Islam yang lain.
Selanjutnya dalam KAMASTU hadir juga narasumber Abdul Gaffar
Karim, M.A. dalam penyampaiannya
berbicara mengenai pemimpin maka bicara otiritas, semua hal yang berkaitan
dengan pemimpin adalah otiritas penuh yang dipegang olehs eorang pimpinan lebih
dalam lagi ketika memahami rakyat, dalam konteks ini ketika seorang bicara
rakyat maka bicara mengenai kebebasan. Kebebasan berpendapat, kebebasan
beraspirasi dsb, lain halnya ketika bicara
pemerintahan, maka dalam penyatuan/penyerahan kebebasan oleh rakyat kepada
pemimpin harus dijamin keamanannya oleh otoritas yang disepakati.
Sehingga ada fungsi dasar otoritas yang
harus dipahami secara bersama sama yakni Menjamin keamanan baik dari segi
politik hukum dan masih banyak lagi sedangkan mengenai pendidikan yakni mampu
memberikan layanan dasar (pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dsb)
Dalam konteks
negara islam ada bermunculan pertanyaan yang salah satu di anataranya adalah
“Adakah konsep negara dalam Islam?” à ADA, tapi bahkan di agama manapun tidak ditemukan
gagasan yang detail, utuh, dan final tentang negara.
Terdapat keunikan konsep
bernegara dalam Islam dibandingkan negara agam lain. Contoh dalam Kristen ada
konsep native secularism (pemisahan) dengan ajaran serahkan kepada
kaisar apa yang menjadi milik kaisar dan serahkan kepada Tuhan apa yang menjadi
milik Tuhan. Tapi dalam Islam tidak
ada pemisahan semacam itu karena adanya keterlekatan ajaran agama dengan
praktik sosial termasuk dalam bernegara dan berkuasa. Meskipun sempat
menjadi perdebatan antara pajak dan zakat. Jika merujuk pada nonsecularism
dalam Islam, maka seharusnya jika warga negara muslim sudah melaksanakan zakat,
pembayaran pajak dapat diklaim kembali.
Bicara pemilihan pemimpin,
tidak ada patokan kaku. Bahkan pemilihan khulafaur rasyidin hingga
daulah umayah-abbasiyah-otoman pun berbeda-beda (Baiat Abu Bakar, Formatur Umar
bin Khattab, sistem keturunan mulai jaman Muawiyah).
Sumber rujukan bernegara
dalam Islam ada tiga
1. Dalil Al-Qur’an dan Hadits baik yang
bersifat hukum yang sudah jelas, maupun bersifat etik. Contoh dalil yang
bersifat etik adalah ayat athi’ullaah, wa athii’urrasul, wa ulil amri
minkum. Ulil amri didefinisikan sebagai orang yang ahli baik secara
penetapan sah secara hukum maupun terkait keahlian. Contoh jika berada di lahan
parkir, maka tukang parkir adalah ulil amri dalam situasi tersebut
karena ia yang dianggap ahli untuk mengatur parkir. Jadi yang dalil tersebut
dijadikan landasan etik dalam berbagai kondisi, bukan kaku bahwa ulil amri
adalah yang semata dipilih secara hukum saja.
2. Tradisi/sejarah. Konsep dan penerapan
negara Islam atau politik Islam tidak terlepas dari duplikasi sejarah
pemerintahan Islam yang pernah berjalan dan berjaya.
3. Pemikiran mengenai konsep negara Islam
baik pemikiran Ibnu Taimiyah, Ibnu Khaldun dan sebagainya dan antara tokohpun
memiliki argumen berbeda mengenai konsep negara Islam itu.
Secara prinsip
etik, Islam mengatur tentang
1. Adanya tatanan. Tatanan bernegara dalam
Islam harus mengutamakan Allah, ittiba’ pada Rasulullah, serta belajar pada
ulil amri yang pernah ada dalam sejarah.
2. Kekuasaan seperti konsep bermusyawarah,
prosedur memilih pemimpin. Tradisi memilih pemimpin sejak Rasulullah hingga Ali
bin Abi Thalib adalah tradisi demokratis yang kemudian dirusak oleh Muawiyah
yang membuat penetapan pemimpin dari segi keturunan hingga sekarang, lihatlah
Saudi Arabia misalnya.
3. Menjunjung kesejahteraan. Islam dalam
bernegara mengutamakan kesejahteraan rakyatnya. Jangan sampai mempertahankan
wilayah sedangkan kesejahteraan tidak mampu dipenuhi. Misalnya kasus Timor
Leste. Menjadi keputusan yang bijak untuk melepas namun penduduknya bisa
memperoleh kesejahteraan daripada tetap bergabung namun tidak terjamin
kesejahteraannya.
Mengenai gagasan
tentang negara, diutarakan oleh beberapa tokoh sepeti semua negara di bawah
satu kekuasaan (Hitler), tentang sistem Khilafah dan sebagainya.
Mengenai bentuk
negara, Soekarno pernah berkata, “tidak ada negara yang sama (tidak berubah
tatanannya) dalam 1000 windu”. Bahkan yang diyaini jaman khilafah Islamiyah
(Umayah-Otoman) tidak mencapai seribu windu itu. Carlos Deutch
menguatkan,”Sejarah manusia bernegara itu menyatu, berpencar, menyatu, berpencar
dan akan terus seperti itu”. Maka tidak ada bentuk negara yang absolut.
Tiga bentuk
negara yang pernah ada adalah etno, nation, dan kosmopolis. Sistem
kesukuan yang diakui sebagai sebuah tatanan yang mengikat seperti suku dayak
yang beragama Kristen, jika pindah agama menjadi muslim maka statusnya menjadi
suku Melayu. Sistem nation seperti negara-negara yang ada di dunia yang
memiliki hukum dan batas negara masing-masing. Atau kosmopolis yang
mengambil konsep menggabungkan kekuasaan negara seperti perhimpunan ASEAN, UNI
EROPA, dsb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar